Tak Selamanya Langit Berwarna Biru

Ini tuh sebenernya cerpen tugas B. Indonesia. Tapi saya posting aja deh yah. Nama tokoh utamanya sama lo kayak judul dari postingan sebelumnya. Selamat membaca!

“Masih belum ditemukan juga, Pak?” tanya seorang ibu sambil meremas gagang telepon yang ia pegang. Cemas.

“Maaf, Bu! Sampai saat ini belum ada perkembangan tentang keberadaan Langit. Pihak kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menemukan anak Ibu. Sekali lagi kami meminta maaf.” jelas seorang Polisi menutup pembicaraan di telepon itu.

***

Sebulan yang lalu…

“Bu, semua teman-temanku sudah memiliki motor. Aku juga ingin, Bu!” ngotot Langit, seorang remaja tanggung berumur 15 tahun, kepada ibunya yang sedang menjahit.

“Langit, kamu tahu kan ayahmu sedang pengangguran. Kini penghasilan utama keluarga hanya berasal dari usaha jahit milik Ibu. Motor itu mahal harganya. Mau dapat uang dari mana? Mau bayar pakai daun??” tegas Ibu.

Respon yang tidak sesuai dengan harapan, ujar Langit dalam hati. Dengan lemas dan wajah kecewa, Langit pun melenggang menuju kamarnya. Dalam seminggu ini yang ada di otaknya hanyalah motor dan Rere, adik kelasnya sewaktu SMP yang tiap pukul tiga sore selalu lewat di depan rumah. Suara bel sepedanya sangat khas. Bel itu selalu terdengar pada pukul tiga kurang lima menit, seperti memberitahu Langit bahwa Rere akan lewat.

Langit membaringkan tubuhnya di ranjang. Sekali-kali ia menoleh ke arah jam yang menggantung di sebelah lemarinya. Masih pukul setengah tiga, setengah jam lagi. Ia mendesah panjang lalu memeluk guling kesayangannya. Andai aku punya motor. Akan kutunjukkan pada Rere agar ia menyanjungku. Langit tersenyum-senyum sendiri. Waktu terus berlalu. Angin sepoi-sepoi berhiliran masuk melalui jendela. Di ruang keluarga ternyata ibu menyalakan lagu klasik kesukaannya. Tak dielakkan lagi, Langit pun tertidur.

“Ibuuuuuuuu, jam berapa sekarang???” teriak Langit, terbangun dari tidur lelapnya.

“Jam tiga lebih lima belas menit. Ada apa sih Langit? Kok teriak-teriak begitu?” tanya ibu dari dapur.

Wah, gawat! Langit serta merta turun dari ranjangnya dan bergegas menuju halaman rumah dan kemudian membuka pagar. Ia pun menoleh ke kanan dan ke kiri. Rere sudah lewat sepertinya. Yaaaahhh… Ia pun kembali masuk ke rumah.

Ibu memandang Langit sambil tersenyum-senyum.

***

Kriiiiiing….

Bel berbunyi panjang. Pelajaran terakhir telah usai. Hanya berselang beberapa menit, koridor sekolah telah dipenuhi anak-anak yang hilir mudik. Ada yang akan pulang ke rumah dan ada juga yang akan mengikuti ekskul. Langit adalah anak yang aktif. Ia mengikuti tiga ekskul di sekolahnya, karate, teater, dan pecinta alam. Hari ini Langit akan latihan karate.

“Hei, Langit! Kita kedatangan anggota baru. Kemari cepat!” ujar Lukman, ketua ekskul karate.

“Oh, ya?” Langit berlari-lari kecil di koridor menghampiri sahabatnya itu.

“Hai!” sapa seorang anak laki-laki yang sudah tidak asing wajahnya.

“Oh, kamu!” Wajah Langit langsung berubah.

“Wah, ternyata kalian sudah saling mengenal!” kaget Lukman.

“Kita berdua dulu bersekolah di SMP yang sama.” jelas Jodi. Nama anak laki-laki itu adalah Jodi.

“Kalau begitu bagus deh! Yuk, kita ke ruang latihan sekarang!” ajak Lukman pada Langit dan Jodi. Lukman pun langsung berjalan ke sebuah pintu yang di depannya bertuliskan “Ruang Karate”.

Langit menoleh pada Jodi. Jodi membalasnya dengan senyuman sinis ala seorang anak geng. Memang, dahulu Jodi adalah seorang anak geng motor. Akan tetapi, karena sempat dipanggil oleh Polisi, geng motor tersebut “dibubarkan”. Kini ia mengaku sudah tidak lagi berhubungan dengan teman-temannya di geng motor. Ia mengaku telah insaf. Akan tetapi, Langit tidak percaya sepenuhnya pada pengakuan Jodi tersebut. Langit dan Jodi pernah mengalami pengalaman buruk. Pengalaman yang tidak pernah bisa dilupakan. Tiba-tiba perasaan Langit menjadi tidak enak. Firasatnya mengatakan bahwa akan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Perkiraan Langit ternyata benar.

***

“Latihan selesai! Terima kasih atas kedatangan kalian pada latihan pertama di semester pertama ini. Sekarang kalian boleh pulang. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” ujar Lukman Sang Ketua. Seluruh anak keluar beriringan dari ruang Karate.

“Langit!” teriak Jodi sambil berlari menghampiri Langit.

Langit pun berhenti dan menoleh. Ada apa dia memanggilku?

“Terima kasih ya sudah mau mengajariku tendangan tadi. Kamu sungguh hebat!” celoteh Jodi.

“Iya sama-sama. Terima kasih juga.” Langit kembali berjalan. Tampaknya dia sudah melupakan kejadian itu, pikir Langit

“Eh, tunggu, Ngit! Aku punya berita penting buat kamu.”

“Apa?”

“Kamu suka Rere kan? Adik kelas kita!”

“Errgh, iya. Memang kenapa?”

Jodi mendekatkan mulutnya ke telinga Langit. “Kemarin Rere baru saja kecelakaan. Tepatnya pukul tiga sore, sepulangnya dari sekolah.”

***

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam. Eh, Langit sudah pulang! Ayah punya kejutan buat kamu, Ngit!” sambut Ayah. Akan tetapi, Langit tidak menghiraukannya. Ia malah berjalan lurus menuju kamarnya.

Tidak lama kemudian, Langit keluar dari kamar. Tubuhnya sudah dibalut dengan pakaian rapi.

“Ayah, Ibu, Langit permisi pergi lagi. Ada teman yang kecelakaan. Langit mau menengoknya. Assalamu’alaikum!” Langit pergi dengan sangat terburu-buru. Ia tidak sadar bahwa di garasi telah berdiri sebuah motor.

Sesampainya di depan rumah sakit yang Jodi beritahukan, Langit bertemu dengan beberapa anak laki-laki yang wajahnya sudah tak asing lagi bagi Langit. Mereka adalah anak-anak geng motor yang diikuti Jodi. Wah, jangan-jangan…

Anak-anak geng itu mendekati Langit. Mereka tampak sangat garang dan siap untuk menyerang Langit. Langit mempersiapkan dirinya. Latihan karate yang ia lakukan secara rutin membuatnya sangat sigap dalam menghadapi bahaya. Salah satu dari mereka pun mulai meluncurkan serangan, namun berhasil ditangkis dengan cepat oleh Langit. Hal itu membuat mereka geram. Mereka pun mulai mengeroyoki Langit bersama-sama. Jelas Langit kalah jumlah. Akan tetapi, Jodi datang.

“Ada apa ini? Berhenti semuanya!”

Serentak para anak geng itu berhenti mengeroyoki Langit. Badan Langit penuh memar.

“Langit, ayo ikut aku!” ajak Jodi.

Langit pun mengikuti Jodi dengan perasaan was-was. Aku bingung! Kenapa anak-anak geng itu ada di sini? Kenapa mereka mengeroyokiku? pikir Langit. Jodi membawa Langit ke sebuah jembatan tak jauh dari rumah sakit. Hari sudah semakin gelap.

“Jodi, kenapa kamu membawaku kesini? Bukankah Rere sedang dirawat? Lalu kenapa teman-temanmu ada di depan rumah sakit?? Jodi, ayo jawab!” teriak Langit.

“Kamu mau tahu? Yakin? Aku membawamu kesini karena aku ingin membalaskan dendamku! Dua tahun yang lalu, saat kita masih duduk di bangku SMP, kamu telah membunuh sahabatku, Recky!” balas Jodi dengan teriakan pula.

“Jod, itu tidak sengaja! Dia terjatuh dari jembatan karena kesalahannya sendiri! Dia sedang dipengaruhi narkoba yang baru ia minum! Seharusnya kamu berterima kasih padaku karena telah menyelamatkanmu. Jika aku tidak di sana, mungkin kamu sudah menelan pil ekstasi itu. Lagi pula orang seperti dia kamu sebut sahabat? Dia buronan, Jod! Dia pengedar narkoba!”

“Aahh! Tahu apa kamu tentang dia? Hah?” teriak Jodi tidak jelas. Suaranya berubah.

“Jod, jangan bilang kamu sekarang pakai narkoba!”

“Sayangnya iya! Maaf Langit, aku harus membunuh kamu sekarang. Aku akan menjatuhkanmu dari jembatan ini! Oh iya, aku akan menggunakan teknik tendangan yang tadi siang baru kau ajarkan padaku. Bagaimana?? Hahaha…” Jodi benar-benar kehilangan kendali. Langit sangat terkejut. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa ia telah dibohongi. Pikirannya melayang pada Rere. Rere tidak kecelakaan, Rere baik-baik saja. Betapa bodohnya ia mau percaya pada Jodi. Ibu dan ayah pun hinggap di pikirannya. Tiba-tiba ia teringat, tadi siang ayah mengatakan sesuatu tentang kejutan. Karena terlalu larut dalam pikirannya, badan Langit tidak siap. Jodi mengangkat kakinya dan menendang Langit. Badan Langit terhuyung dan akhirnya jatuh dari jembatan…

***

“Belum ada perkembangan, Bu?”

“Belum, Yah. Polisi masih belum menemukan jasad Langit.” Air mata ibu langsung mengalir deras.

“Tenang, Bu. Kita pasti menemukannya. Jangan berpikir bahwa Langit sudah mati. Belum ada keterangan yang menyatakan Langit mati. Masih ada kemungkinan.” Ayah mencoba menenangkan.

“Tapi Jodi anak brengsek itu mengatakan telah membunuhnya dengan menjatuhkannya dari jembatan.”

“Ibu tahu kan kalau saat itu Jodi tengah dalam keadaan setengah sadar akibat narkoba yang ditelannya? Keterangannya diragukan, Bu.”

Ting… tong…

Bel rumah berbunyi. Ayah menghampiri pintu dan kemudian membukanya. Rere tengah berdiri dengan wajah penuh dengan peluh. Napasnya tidak teratur.

“Om, saya tahu Langit ada di mana!” ujar Rere ngos-ngosan. Tampaknya Rere baru saja berlari ke sini. Semenjak kejadian menggemparkan tentang Langit, Rere selalu membantu mencari Langit. Tak disangka, ternyata Rere menyimpan perasaan pada Langit. Berita terbunuhnya Langit sangat membuatnya syok. Firasatnya mengatakan bahwa Langit masih hidup. Itulah yang mendorong Rere terus mencari Langit.

“Benarkah? Bu, Langit sudah ditemukan!” teriak Ayah.

“Ada di mana? Ayo sekarang kita ke sana!” Ibu bergegas mengenakan jilbabnya dan keluar bersama Ayah dan Rere.

Di garasi rumah, motor untuk Langit masih berdiri. Ternyata hari di mana Langit dibunuh oleh Jodi adalah hari di mana ayahnya mendapat pekerjaan baru. Pekerjaan itu memberi Ayah motor untuk transportasi menuju kantor baru. Akan tetapi, Ayah memutuskan lebih baik motor itu untuk Langit karena sekolah Langit cukup jauh dari rumah, sementara kantor baru Ayah jauh lebih dekat.

Rere membawa kedua orang tua Langit menuju perkampungan kumuh di sekitar hulu sungai yang cukup terpencil. Tak lama kemudian mobil yang membawa mereka sampai di tempat tujuan. Mereka turun dan langsung dihadapkan dengan seseorang mirip Langit yang tengah memunguti sampah.

“Langiiit! Ini Ibu, Nak!” teriak Ibu sambil berlari menghampiri Langit.

“Maaf, nama saya bukan Langit. Mungkin Ibu salah orang.” ujar orang yang mirip Langit itu dengan sopan.

-Selesai-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Carpon Basa Sunda : UJIAN

Pembinaan Pekanan Majelis Ta’lim Salman #1 "Karakteristik Para Sahabat"

Cerpen --> Dialog