Postingan

(masih) Self-Tracking

Berselang 6 bulan dari terakhir aku memposting tulisan, kini aku berniat untuk melanjutkan postingan tersebut. Sesungguhnya aku sudah mengingkari janjiku untuk segera memposting tulisan lanjutannya. Namun bulan Juli 2018 itu merupakan salah satu bulan yang merepotkan, dalam artian munculnya godaan yang berhasil mengalihkan fokusku dan akhirnya menerus hingga akhir tahun. Tahun ini aku memutuskan untuk kembali fokus pada apa yang menjadi resolusiku tahun lalu, yang jika disederhanakan yaitu "finding myself". Seharusnya sudah selesai urusanku tentang itu. Kini seharusnya aku beranjak menuju resolusi lain yaitu "accepting and loving myself". Tapi mari kita selesaikan dulu urusan yang belum selesai. Tahun lalu aku menulis tentang masa kecil ku. Kira-kira seperti itulah masa kecilku yang disibukkan dengan kegiatan-kegiatan produktif dan prestatif. Rasa-rasanya masa kecilku itu sangat cemerlang, meskipun ada juga problematika-problematika kecil yang muncul. Di tulisan

Self-Tracking

Finally find a place for me to write a blog peacefully. With a cup of caffe latte, here I am trying to find a new topic for my new post. Aku pun akhirnya memutuskan untuk menulis tentang self-tracking. Apa itu self-tracking? Sejujurnya itu adalah istilah yang aku buat sendiri yang terinspirasi oleh kakakku. Jadi beberapa bulan yang lalu, kakakku mengunjungiku di Bintaro dan ketika kami berdua berbincang, dia menyarankanku untuk flashback, melihat ke belakang apa saja yang sudah aku alami selama hidup, dan connecting the dots, menghubungkan segala sesuatu yang berkaitan dari masa laluku hingga sekarang. Nah kedua hal itulah yang kemudian aku sederhanakan menjadi self-tracking. Technically yang aku lakukan adalah berdiam diri di kamar dan mengingat-ngingat kembali apa saja yang sudah aku alami sejak kecil. Pada bagian ini aku akan bercerita bagaimana diriku semasa duduk di bangku sekolah dasar karena itu merupakan masa-masa penting yang aku kira merupakan kunci mengapa aku seperti

23

Beberapa hari terakhir, tepatnya sejak ulangtahunku tanggal 28 Mei yang lalu, banyak hal terjadi padaku. Sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk melakukan kontemplasi diri secara besar-besaran di tiap tanggal 28 Mei. Namun tahun ini terasa berbeda. It simply because tahun ini aku menginjak 23 tahun dan dulu aku pernah bercita-cita ingin menikah di umur ini. Hal ini membuatku tiba-tiba merasa panik, entah kenapa. Sepertinya aku kaget karena tidak terasa waktu berjalan begitu cepat, mengantarkanku pada umur 23. Aku masih ingat beberapa hari sebelumnya betapa semangatnya diriku untuk fokus membangun karir yang cemerlang demi kebahagiaan keluargaku, sama sekali lupa bahwa aku pernah bermimpi menikah muda. Oktober 2017 yang lalu, tepatnya saat aku diwisuda di ITB, aku memutuskan untuk mulai fokus memikirkan keluarga, bagaimana caranya aku bisa membantu orangtuaku secara finansial karena ayahku sudah tidak bekerja. Tentunya keputusan ini keluar melalui proses yang panjang. Banyak sekali

Bahasa

“Be carefull with your words, once they are said, they can only be forgiven, not forgotten” Kita semua tahu kalau kita tidak hidup sendiri dan akan selalu membutuhkan peran orang lain. Hal tersebut membuat kita harus berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka. Interaksi adalah ketika kita bertemu dan berhubungan dengan orang lain. Interaksi akan berjalan sesuai dengan keinginan jika kita dapat menyampaikan isi kepala atau isi hati kita dengan baik. Kuncinya adalah komunikasi. Dan kunci komunikasi adalah bahasa.   Bahasa menurut KBBI adalah sistem lambang bunyi yg arbitrer, yg digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinter a ksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa membantu kita untuk menyampaikan dan membuat orang lain paham akan apa yang kita pikirkan, rasakan, atau inginkan. Bayi belum mampu berbahasa sehingga dia akan kesulitan menyampaikan ke ibunya kalau dia sedang lapar. Alhasil, menangislah dia, supaya orang di sekitarnya menghampi

Hai 2016

Sebuah tulisan di awal tahun 2016. Saat ini nampaknya semua orang sedang sibuk. Ada yang sibuk bikin “bestnine2015” di instagram, ada yang sibuk mengabadikan momen-momen terakhir di penghujung 2015, ada yang sibuk mengenang perjalanan hidup selama tahun 2015, ada yang sibuk bikin resolusi buat 2016, dll. Aku? Ya, aku di sini saja, masih bergelut dengan pikiranku. Hari ini tak sengaja aku membuka arsip-arsip lama. Ku lihat arsip piagam penghargaanku. Di saat orang-orang melaminating bahkan memfigura piagam yang mereka dapat, aku hanya mengumpulkannya di sebuah map dan menaruhnya di suatu folder di sudut kamar. Saat ku buka, map itu dalam kondisi agak berdebu. Di dalamnya terlihat tumpukan piagam yang cukup tebal. Baru sadar ternyata banyak juga piagam yang kupunya. Ada yang ujung-ujungnya mulai berwarna kecoklatan, ada yang kondisi kertasnya sudah tidak mulus, bahkan ada yang hampir robek. Orang-orang pasti mengira aku bukanlah orang yang bersyukur. Meraih cukup

Magnolia

Aku adalah manusia, penghuni planet yang bernama Bumi, yang sejauh ini masih menjadi satu-satunya planet berpenghuni. Aku hidup bersama manusia lainnya. Ada banyak manusia di sini yang notabene terbagi menjadi dua yaitu wanita dan pria, meskipun kini batasan itu sudah mulai kabur sejak munculnya istilah "kesetaraan gender" dan "LGBT" yang aku sendiri masih bingung itu apa. Aku sendiri masuk ke dalam kategori wanita dan aku bersyukur akan hal itu. Aku telah hidup di Bumi ini selama 21 tahun. Selama itu aku banyak melihat. Aku sangat bersyukur pada Penciptaku karena telah memberikanku mata untuk melihat meskipun aku malah merusaknya dan kini tidak bisa melihat dengan jelas. Dimulai dari mata yang melihat, aku menjadi tahu kalau aku tidak hidup sendiri, kalau aku ternyata berada di atas tanah yang ternyata beratapkan langit, kalau aku ternyata adalah manusia yang punya tangan dan kaki. Dengan melihat (entah kenapa) aku merasa tenang dan aman. Dari situ aku banyak bel

Satu Bumi, Banyak Dunia

Aku hidup di bumi yang cuman satu. Tapi akhirnya aku mulai menyadari bahwa hidup ini tidak sesederhana bumi yang cuman satu ini. Aku memandang kehidupanku dengan sudut pandangku sendiri, dengan perspektif diriku sendiri. Begitupun dengan orang lain yang memandang hidupnya dengan sudut pandang mereka sendiri, perspektif mereka sendiri. Tiap manusia memiliki perspektifnya masing-masing mengenai kehidupan ini. Ada yang memandang dunia ini bagai pelangi. Ada yang memandang dunia ini bagai sampah. Ada yang memandang hidup di dunia ini tak ada gunanya. Ada yang memandang hidup di dunia ini sebuah anugrah. Dunia seorang pengemis berbeda dengan dunia seorang pegawai negeri sipil. Dunia seorang insinyur perminyakan berbeda dengan dunia seorang ibu penjual nasi kuning. Dunia seorang pecandu narkoba berbeda dengan dunia seorang mahasiswa idealis. Akhirnya bumi yang cuman satu ini sesak oleh banyaknya dunia, karena tiap orang punya dunianya masing-masing. Tapi bumi ini mem