Self-Tracking


Finally find a place for me to write a blog peacefully. With a cup of caffe latte, here I am trying to find a new topic for my new post. Aku pun akhirnya memutuskan untuk menulis tentang self-tracking. Apa itu self-tracking? Sejujurnya itu adalah istilah yang aku buat sendiri yang terinspirasi oleh kakakku. Jadi beberapa bulan yang lalu, kakakku mengunjungiku di Bintaro dan ketika kami berdua berbincang, dia menyarankanku untuk flashback, melihat ke belakang apa saja yang sudah aku alami selama hidup, dan connecting the dots, menghubungkan segala sesuatu yang berkaitan dari masa laluku hingga sekarang. Nah kedua hal itulah yang kemudian aku sederhanakan menjadi self-tracking.

Technically yang aku lakukan adalah berdiam diri di kamar dan mengingat-ngingat kembali apa saja yang sudah aku alami sejak kecil. Pada bagian ini aku akan bercerita bagaimana diriku semasa duduk di bangku sekolah dasar karena itu merupakan masa-masa penting yang aku kira merupakan kunci mengapa aku seperti saat ini. Masa SMP, SMA, dan kuliah akan ku ceritakan di post berikutnya.

...

Ibuku pernah bilang sejak balita aku tidak pernah mau memakai anting dan rok, ke mana-mana selalu memakai celana. Walhasil aku sering sekali dikira anak laki-laki. Kakakku pernah bilang kalau dia sangat lelah ditanya oleh orang-orang “ini adiknya perempuan atau laki-laki?”. Akhirnya ketika aku menginjak umur 6 tahun ibuku banyak menjahitkan rok untukku. Mau tidak mau aku harus memakainya. Tapi itu hanya bertahan 3 tahun.

Saat aku kelas 4 SD, di sekolah kedatangan guru olahraga baru yang kemudian membentuk ekstrakulikuler voli. Aku pun masuk ekskul tersebut. Pada awalnya hanya ikut-ikutan namun akhirnya aku menjadi kapten tim putri sekolah kami. Seketika aku pun menjadi sangat tomboy. Rambutku selalu diikat buntut kuda dan aku selalu memakai celana. Selain itu karena jadwal latihannya yang rutin tiap minggu, ditambah setiap waktu istirahat kami selalu bermain di lapangan, kulitku pun menghitam walaupun jika dibandingkan teman-temanku aku masih tetap yang paling putih. Perlu diketahui ketika dilahirkan kulitku sangat putih dan sangat mirip bule. Jadi ketika melihat perubahanku yang signifikan tersebut, keluarga besarku syok. Ya mau bagaimana lagi.

Sebenarnya aku tidak bisa menyalahkan hanya pada kegiatanku di voli. Aku juga sewaktu SD aktif di pramuka dan kebetulan menjadi Sulung saat masih Siaga dan Pratama saat sudah Penggalang (jika bingung dengan istilah-istilah itu silahkan googling sendiri). Selain itu setiap kali akan lomba aku selalu menjadi ketua regu yang harus mengatur dan memimpin latihan. Kami sering sekali latihan PBB (Peraturan Baris-Berbaris) di lapangan dari pagi hingga sore, dan itu berkontribusi cukup besar terhadap menghitamnya kulitku.

Selain kegiatan-kegiatan fisik di atas, saat SD aku juga disibukkan dengan kegiatan perlombaan akademik seperti olimpiade IPA, cerdas cermat, pidato, dan story telling. Pernah suatu waktu guru Bahasa Indonesia ku bertengkar dengan guru olahraga pembina voli. Guru Bahasa Indonesia ingin aku menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba pidato dan guru olahraga ingin aku masuk tim untuk turnamen voli. Kedua lomba itu diadakan di hari yang sama untuk memperingati hari ulang tahun Kota Bandung. Keputusan akhirnya adalah aku mengikuti lomba pidato karena tidak ada lagi yang bisa menggantikanku.

Jika kamu menyimak ceritaku di atas, bisa dibayangkan betapa sibuknya aku semasa SD. Dari kegiatan akademis hingga non akademis aku geluti. Bukan mau sombong, tapi dari kegiatan-kegiatan itu aku berhasil menelurkan banyak prestasi. Tim voliku pernah Juara 1 se kota Bandung, regu pramukaku pernah Juara Umum dan mendapat Piala Gubernur, dan untuk akademiknya aku berhasil menjadi perwakilan Jawa Barat di ajang Olimpiade IPA tingkat Nasional. “Hasil tidak pernah mengkhianati usaha” itu benar adanya.

Meski hidupku semasa SD sangat sibuk, tapi aku pun pernah merasakan yang namanya cinta monyet. Jujur aku agak geli untuk mengakuinya jadi aku tidak akan bercerita secara detil, yang jelas aku hanya ingin orang-orang tau kalau aku juga anak biasa yang bisa terkena virus merah jambu. Tiap kali virus itu menjangkitku, aku menjadi tidak bisa berpikir jernih. Biasanya jika saat-saat itu tiba aku menjadi sangat emosional.

Mengingat hal-hal di atas, aku jadi berpikir bahwa masa SD adalah kunci awal pembentukan diriku. Dengan menjadi kapten tim voli, Sulung, Pratama, ketua regu, dan ketua kelas (oh iya aku menjadi ketua kelas selama 6 tahun berturut-turut) leadership skill ku dibentuk dan diasah. Keterlibatanku di olimpiade tingkat nasional membukakan mataku bahwa kita harus selalu berpikir terbuka. Aku bertemu anak-anak dari seluruh provinsi di Indonesia dan aku harus belajar menghargai perbedaan. Keterlibatanku di lomba pidato mengasah otakku untuk berpikir kritis dan objektif serta menyampaikan gagasan dengan Bahasa yang baik.

Tampaknya masa SD ku sangat cemerlang ya? Tidak juga! Masa SD juga merupakan masa kelam bagiku. Karena kulitku putih dan tubuhku tinggi kurus ditambah aku belum berjilbab, aku seringkali menjadi target “catcalling”. Catcalling adalah siulan, teriakan, dan komentar mengenai hal-hal bersifat seksual terhadap perempuan yang lewat di jalan. Setelah maraknya isu kesetaraan gender dan gencarnya perlindungan terhadap perempuan, catcalling ini akhirnya dikatakan pelecehan seksual yang haram untuk dilakukan. Dulu rasanya hal itu dianggap biasa oleh kebanyakan orang sehingga kamu akan menemukan fenomena catcalling di mana-mana. Sebagai perempuan saat itu aku selalu marah jika diperlakukan seperti itu.

Tak hanya itu, aku juga selalu dilanda paranoid jika tiba saatnya pelajaran renang, karena setiap kali renang selalu ada yang menggangguku (read : mencolek). Mengerikan sekali. Gara-gara itu semua aku pun akhirnya menjadi anak perempuan yang jutek, dingin, dan galak. Hal itu tidak lain dan tidak bukan merupakan pertahanan diriku terhadap perlakuan para laki-laki brengsek itu. Hingga lulus dari SD aku pun masih ditakuti oleh teman-teman laki-lakiku. Bahkan sifatku itu terbawa hingga sekarang.

Menurutku kisah masa SD ku itu cukup menjelaskan mengapa aku seperti sekarang. Sejujurnya apa yang aku alami selanjutnya di SMP, SMA, dan kuliah kurang lebih tidak berbeda jauh, hanya berbeda level saja.

Dari self-tracking ini aku jadi semakin paham tentang diriku. Memandang diriku di masa lalu dari sudut pandang aku di masa kini yang sudah kepala dua ternyata memberikan kesan berbeda. Aku menjadi lebih objektif terhadap diriku. Terlepas kini aku mengalami banyak perubahan, namun tetap pada dasarnya diriku memiliki sifat-sifat yang terbentuk semasa SD itu. Aku juga jadi paham mengapa aku memiliki sifat-sifat itu. Ternyata selalu ada kisah dibalik terbentuknya karakter seseorang, termasuk diriku sendiri. Dari situ aku jadi lebih bisa menerima diriku apa adanya. Aku yang sekarang adalah konsekuensi dari pilihan yang aku ambil ketika masih belia. Tidak ada yang salah dengan itu dan tidak ada yang perlu disesali.

Sebenarnya tidak hanya sampai di situ saja self-tracking yang aku lakukan. Aku juga kembali membuka arsip lama yaitu tulisan-tulisanku di blog ini sejak tahun 2010. Aku membaca semua tulisan yang pernah aku post untuk memahami pola pikir dan bagaimana aku menghadapi masalah. Pembahasannya akan aku post minggu depan, insyaAllah.

Oke sekian saja untuk postingan ini, karena nampaknya sudah 3 jam aku berada di café yang mau tutup ini untuk membuat tulisan ini. Semoga tulisan ini mampu menginspirasi kalian semua 😊




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Carpon Basa Sunda : UJIAN

Pembinaan Pekanan Majelis Ta’lim Salman #1 "Karakteristik Para Sahabat"

Cerpen --> Dialog