(masih) Self-Tracking

Berselang 6 bulan dari terakhir aku memposting tulisan, kini aku berniat untuk melanjutkan postingan tersebut. Sesungguhnya aku sudah mengingkari janjiku untuk segera memposting tulisan lanjutannya. Namun bulan Juli 2018 itu merupakan salah satu bulan yang merepotkan, dalam artian munculnya godaan yang berhasil mengalihkan fokusku dan akhirnya menerus hingga akhir tahun. Tahun ini aku memutuskan untuk kembali fokus pada apa yang menjadi resolusiku tahun lalu, yang jika disederhanakan yaitu "finding myself". Seharusnya sudah selesai urusanku tentang itu. Kini seharusnya aku beranjak menuju resolusi lain yaitu "accepting and loving myself". Tapi mari kita selesaikan dulu urusan yang belum selesai.

Tahun lalu aku menulis tentang masa kecil ku. Kira-kira seperti itulah masa kecilku yang disibukkan dengan kegiatan-kegiatan produktif dan prestatif. Rasa-rasanya masa kecilku itu sangat cemerlang, meskipun ada juga problematika-problematika kecil yang muncul. Di tulisan itu aku berjanji akan menulis tentang masa setelah SD, yaitu SMP hingga kuliah. Ada beberapa perubahan yang terjadi yang semakin memantapkan siapa Nadia hari ini. Mari kita mulai ceritanya.

- SMP -
Dengan prestasiku yang "lumayan" saat SD, seharusnya aku bisa masuk SMP dengan jalur prestasi. Aku mencobanya dengan bermodal sertifikat Olimpiade MIPA tingkat nasional. Sayangnya aku gagal, dan aku menangisi itu. Mengingat hal itu sekarang rasanya lucu. Dulu aku sangat ambisius sampai-sampai ketika gagal pun menangis. Aku akui aku memang cengeng soal hal itu. Namun pada akhirnya aku masuk SMP tersebut lewat testing, nilaiku peringkat 6 paling besar satu angkatan. Saat itu aku pun merasa gagal karena tidak bisa menjadi nomer 1 hahaha.

Aku yang ambisius kemudian bertekad untuk membuktikan kalau aku bisa menjadi nomer 1. Kali ini aku berhasil. Tiap upacara di awal semester aku selalu dipanggil ke depan karena nilai raporku paling tinggi satu sekolah. Kemudian semua orang berbaris untuk bersalaman denganku mengucapkan selamat. Alhamdulillah.. Aku pun mencoba untuk mengikuti olimpiade MIPA lagi seperti SD. Sayangnya untuk hal ini aku gagal. Prestasi paling tinggi di luar kelas yang bisa aku raih hanya menjadi semi finalis cerdas cermat Matematika tingkat Kota Bandung. Itu saja. 

Untuk bidang akademis, di masa SMP ini sepertinya Allah ingin mengajarkanku tentang kegagalan. Saat SD aku terbilang mudah sekali menjuarai sesuatu. Kini Allah berbaik hati untuk mau mendewasakan diriku melalui kegagalan. Nampaknya kemudahan yang Allah berikan saat ku SD terlalu membesarkan kepalaku sehingga aku manjadi anak yang ambisius dalam artian negatif. Perspektif ku tentang prestasi akademik pun mulai berubah sejak saat itu. 

Namun disamping kegagalan-kegagalan itu, aku juga mulai dipertemukan dengan keorganisasian yang kemudian akan menjadi jalan hidupku sampai saat ini. Aku ikut OSIS dan juga aktif di kegiatan dakwah sekolah. Bertemu banyak orang, berteman dengan banyak orang, berkumpul untuk merancang suatu tujuan mulia, bekerja sama mewujudkan itu, dll. Semua berawal di sini, di masa SMP. Aku terpesona dengan visi, misi, tekad untuk membuat perubahan-perubahan untuk setidaknya sekolahku saat itu. Semangatku terbakar setiap kali ada rencana membuat sesuatu demi suatu tujuan. Skill kepemimpinanku semakin terasah. Cara berpikirku menjadi lebih kritis dan komprehensif. Aku sangat nyaman berada di dunia itu. Aku pun berjanji untuk terus berada di jalur tersebut. 

Aku kira hidupku sudah cukup baik saat itu. Prestasi di kelas bagus ditambah aktif berorganisasi. Oke lah, meskipun prestasi akademik di luar sekolah tidak banyak. Kehidupan sosialku baik di dalam kelas maupun di luar kelas pun terbilang baik. Aku termasuk yang bisa berbaur di kelompok mana pun meskipun aku pun punya kelompok pertemanan sendiri yang alhamdulillah masih bertahan hingga kini. Image akan diriku pun mulai terbentuk yaitu Nadia yang aktif namun tetap berprestasi di kelas. 

Saat SMP juga ada satu keputusan besar yang aku ambil, yaitu berhijab. Akhirnya setelah bertahun-tahun lepas tutup hijab, aku membulatkan tekad untuk istiqomah memakai hijab. Banyak hal terjadi setelahnya. Dulu aku yang selalu menjadi korban catcalling, ketika sudah berhijab semua itu lambat-laun berkurang. Orang-orang mulai menghormatiku sebagai perempuan. Aku amat senang akan hal itu. 

Karakterku yang jutek, tegas, dan keras kepala masih menempel hingga saat permulaan SMP. Aku menjadi ketua kelas yang ditakuti seluruh murid laki-laki. Namun karakter itu lambat laun berkurang meski tetap saja tidak hilang.

Masa kelam yang aku alami saat SMP adalah ketika orangtuaku bangkrut dan aku harus berjualan di di sekolah yaitu di kelas dan ruang guru untuk membantu mereka. Pernah aku tidak dibekali uang sepeser pun dan hanya diberi satu wadah gorengan yang kalau semuanya laku uangnya menjadi uang ongkosku untuk pulang. Jika tidak laku? ya sudah. Untungnya setiap hari daganganku selalu laku. Itu berlangsung selama beberapa minggu hingga ada 1 guru yang menyindirku di kelas karena berjualan di ruang guru dan kelas. Sejak saat itu aku marah dan tidak mau berjualan lagi. Mengingat hal itu membuatku sedih sejujurnya. Namun dari situ juga aku banyak belajar. Keadaan ekonomi keluarga mulai menurun dan aku harus belajar menerima hal itu. Bayangkan saja umur-umur segitu sekitaran 13 tahun di mana sedang masa-masa puncaknya pubertas, aku harus menelan kepahitan itu. Saat itu aku termasuk sering menangis dan marah. Maka berorganisasi lah yang kemudian menjadi pelarianku.

Itulah masa SMP ku, banyak hal terjadi, banyak hal bermula di masa itu, dan banyak juga pembelajaran yang aku terima. Saat itu aku mulai bisa mendefinisikan seorang Nadia yang aktif, pintar, semangat, positif, kuat, namun jutek, tegas, serius, dan keras kepala. Karakter itu yang kemudian menjadi dasar akan siapa diriku saat ini.

- SMA -
Tak banyak yang berubah. Aku menjadi salah satu dari 10 siswa dari SMP ku yang masuk ke SMA favorit di Bandung bahkan di Indonesia. prestasiku di kelas terbilang oke walaupun turun, masih 5 besar di kelas. Kehidupan organisasiku berlanjut dan meluas. Aku aktif di OSIS, kegiatan dakwah sekolah, dan ditambah kegiatan kesenian sunda dan masuk ke dalam grup debat sekolah. Bergabung di aktifitas kesenian sunda merupakan salah satu upayaku untuk menyeimbangkan otak kanan dan kiriku, sedangkan bergabung di grup debat sekolah adalah untuk mengasah critical thinking ku.

Masih sama seperti SMP, kegiatan sehari-hariku antara belajar di kelas dan berorganisasi namun level kesulitannya meningkat yang tentunya membuatku semakin tertantang. Saat itu aku pikir everything is okay. Soft skill ku semakin terasah dengan adanya latihan kepemimpinan yang getol diadakan organisasi-organisasi ekstrakulikuler di sekolah. Ditambah aku diamanahi untuk memegang beberapa responsibility penting di sekolah. Time management ku semakin bagus. Ke mana-mana aku selalu membawa planner ku. Semua hal aku tulis disitu, tugas, rapat, acara, target, dll. Aku mulai menyukai diskusi yang membahas isu-isu berat seperti ideologi, filsafat, dll. Kualitas bacaan buku pun meningkat tak sebatas komik atau novel. Pada intinya hidupku semakin produktif dan seimbang.

Everything seems okay at that time. Aku semakin mumpuni dalam memimpin, kritis, terstruktur, sistematis, dan hal positif lainnya. Tak ada masalah yang besar kecuali saat lulus aku nyaris tidak bisa membayar tunggakan SPP ke sekolah. Seperti biasa aku selalu menangis dan marah jika sudah bicara tentang keadaan ekonomi keluarga. Kenapa marah? Karena saat itu aku tidak berdaya, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu perekonomian keluarga.

Kehidupan sosialku baik-baik saja, namun yang berbeda adalah aku lebih menyukai pertemanan di luar kelas. Entah kenapa aku merasa ada ketidakcocokan dengan teman-teman di kelas sehingga setiap pulang sekolah aku langsung pergi menemui teman-teman di OSIS atau ekskul. Hal itulah yang kemudian memunculkan satu image baru di mata teman-teman sekelasku, Nadia yang selalu sibuk. Awalnya terdengar keren karena itu menunjukkan kalau aku benar-benar memanfaatkan waktuku dengan baik untuk mengerjakan hal-hal positif. Saat itu aku belum tau bahwa nanti di kemudian hari image tersebut akan terus melekat, meskipun aku sudah tidak sesibuk itu.

Inilah masa SMA ku, tak banyak berbeda dengan SMP hanya saja berbeda level. Sederhananya, masa SMA ini aku simpulkan sebagai masa training. Di masa ini aku banyak mendapat pelajaran, dilatih soft skillnya, dibukakan wawasannya, dll yang kemudian hal itu semua yang akan menjadi pondasi bagi diriku dalam melihat sesuatu, dalam memutuskan, dll. 

Karakterku tidak banyak yang berubah. Mungkin aku tidak se ber api-api seperti SMP dulu. Lebih kritis tapi kalem, bijak, pemikir, terstruktur, sistematis, terencana namun tetap aktif, pintar, tegas, keras kepala, dan serius. Dan satu lagi, SIBUK.

- Kuliah - 
"Kecewa"
Itu satu kata yang bisa merangkum kehidupanku di kuliah. Banyak sekali kekecewaan yang aku alami. Bahkan untuk menuliskannya disini pun aku bingung mau mulai dari mana. Dari pertemanan, cinta, akademik, persiapan karir, keorganisasian, selalu diselipi dengan kekecewaan. Ku pikir kekecewaan itu bermula dari aku yang terlalu menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap sekitarku. Aku yang sudah mencurahkan tenaga yang maksimal untuk sesuatu malah dibalas dengan ketidakprofesionalan.

Sayangnya saat itu sangat sulit untuk berpikir positif. Yang ada adalah aku semakin emosional dan selalu berprasangka buruk. Dulu saat SMA aku terbiasa untuk berpikir kritis yang logis, di kuliah aku tetap membiasakan berpikir kritis, tapi dasarnya sudah biased antara logika dan perasaan.

Karakterku yang sebelumnya terlihat keren - kritis tapi kalem, bijak, pemikir, terstruktur, sistematis, terencana namun tetap aktif, pintar, tegas, dan sibuk alias produktif - di masa kuliah entah kenapa itu semua terasa menjadi negatif. Aku yang terlalu kritis dan serius malah membuat teman-temanku tidak nyaman dan sulit bercanda gurau denganku. Aku yang bijak membuat teman-temanku segan berbuat salah di depanku yang akhirnya malah membuat mereka tidak bebas menjadi dirinya sendiri. Aku yang pemikir, terstruktur, terencana, malah membuatku terlihat kaku sehingga orang-orang merasa canggung berbicara denganku. Aku yang aktif dan sibuk membuatku tidak pernah diajak bermain bersama mereka karena mereka selalu berprasangka bahwa aku sedang sibuk. Dan aku yang tegas dan keras kepala, membuat orang-orang malas bekerja sama denganku.

Sayangnya aku sangat emosional dan malah mengambil tindakan kecewa dan marah karena semua teman-temanku itu tidak bisa menerima aku apa adanya, mereka tidak bisa memahami kondisiku. Malah aku yang jadinya harus mengalah bahwa aku lah yang harus mengubah diriku dan memahami kondisi mereka. Aku kesal dan menutup diri, mengutuki dan membenci diriku.

Padahal saat kuliah cukup banyak pencapaian yang aku raih. IPK ku cumlaude, pernah menjadi mahasiswa berprestasi di jurusan, menjuarai beberapa lomba tingkat nasional, mewakili kampus untuk mengikuti konferensi di Malaysia, terpilih untuk mengikuti ajang pelatihan kepemimpinan prestige di Indonesia, diamanahi beberapa tanggungjawab besar mulai dari tingkat jurusan, fakultas, hingga satu kampus. Dan di setiap hal itu pasti ada terselip kekecewaan di dalamnya yang membuatku sulit berpikir positif dan malah menjadikan semua pencapaian itu terasa tidak berarti.

Di akhir masa kuliah aku mengalami depresi. Tugas akhirku ditolak abis-abisan oleh dosen pembimbingku sehingga harus mengulang dari awal, mengancam diriku tidak bisa lulus tepat waktu. Ayahku marah besar melihat kesibukanku yang tiada henti, pulang ke rumah jam 12 meski sudah tingkat 4. Ya memang saat itu aku sedang menjabat sebagai wakil menteri koordinator di kampusku dan juga masih bertanggung jawab di himpunan jurusan. Ayahku marah besar padahal sebelumnya tidak pernah marah jika aku pulang larut atau bahkan tidak pulang karena urusan organisasi. Di saat seperti itu eman-temanku entah kemana, bahkan aku bertanya-tanya apakah aku sesungguhnya punya teman? Ke mana mereka yang selama ini bergerak bersama denganku? Ke mana mereka yang selalu bersamaku ketika sedang mengurus sebuah kepanitiaan? Aku yang terlalu fokus pada tujuan, terlalu profesional dan serius lah penyebabnya. Teman-temanku tidak merasakan rasa kekeluargaan ketika bersamaku. Tapi aku terlambat menyadarinya. Saat itu aku tingkat 4, waktuku di kampus tinggal sedikit.

Pusing menghadapi itu semua, aku mengurung diri di rumah selama 3 bulan, jauh dari hiruk pikuk keorganisasian yang selama ini selalu aku agung-agungkan. Hanya 1 orang yang menghubungiku dan sejak itu aku berharap banyak padanya. Tak tanggung-tanggung dia bersedia menemaniku menginap di lab untuk mengerjakan tugas akhir.

Setelah kembali ke kampus karena mau tidak mau aku harus menyelesaikan tugas akhirku, teman-teman jurusanku ternyata mencari-cari aku ke mana. Saat itu aku tidak percaya. Jika iya mereka mencariku, mengapa mereka tidak menghubungiku? Aku sedang depresi saat itu dan tidak mungkin mengabari semua orang mengenai kondisiku itu kecuali jika ada yang bertanya. Tetap, pikiran negatif yang selalu menghampiri ku saat itu.

Mengingat waktu di kampusku tinggal menghitung bulan bahkan minggu, aku pun meningkatkan kualitas hubungan pertemanan dengan teman-teman di organisasi terakhir yang aku ikuti di kampus, yaitu kabinet. Aku yang sedang manjabat sebagai wakil menteri koordinator kemudian mencoba terbuka dengan teman-teman kemenkoan ku. Dan aku sangat bersyukur ternyata mereka mau menerima diriku apa adanya dan berusaha mengerti. Akhirnya teman di kuliah yang saat ini masih keep in touch denganku adalah teman-teman kemenkoan dan 1 sahabat yang menghubungiku di kala depresi itu.

Akhir tahun 2017, aku lulus. Namun masih ada satu PR besar menghantui, bahwa konflik dengan diriku belum usai, bahwa aku masih membenci diriku sendiri. Tak diduga, muncul satu hal yang mengalihkan perhatianku. Oh iya sebelumnya, selama kuliah aku mendapatkan beasiswa dan keluargaku baru saja mendapatkan warisan. Pada awalnya perekonomian keluarga kami baik-baik saja. Namun orangtuaku kena tipu dan lama-lama uang warisan itu menipis. Saat aku lulus, warisan orangtuaku sudah nyaris habis. Orangtuaku semakin menua, sudah sulit untuk berusaha bekerja untuk menghidupi 2 adikku, dan di lain hal kakakku yang sebelumnya membantu perekonomian keluarga memutuskan untuk fokus S2. Pada akhirnya akulah yang mendapatkan tongkat estafet untuk membantu perekonomian keluarga. Inilah yang kemudian mengalihkan perhatianku. Aku yang saat itu sedang berkonflik dengan diriku sendiri, mendadak harus fokus untuk membantu orangtua. Pada awalnya aku merasa tidak rela namun hal itu tetap harus aku lakukan demi kehidupan adik-adikku yang masih kecil. Terkadang hingga saat ini, hal itu membuatku marah dan kecewa mengapa aku yang harus menanggung semua itu.

Itulah drama yang aku alami semasa kuliah. Berakhir dengan kekecewaan terhadap diri sendiri dan juga orang lain. Mendadak kehilangan jati diri, dilanda kebingungan, Nadia itu siapa dan harus seperti apa. Ditambah harus mengemban tanggungjawab baru yang terbilang berat untuk seorang perempuan yang baru lulus kuliah. 

---

Ku rasa dicukupkan sekian cerita masa lalu ku itu. Sejujurnya aku sangat ingin melanjutkan kisahnya, yaitu kisah masa sekarang setelah lulus. Namun ku kira kisah itu lebih baik ditulis di lembaran yang terpisah karena akan sangat panjang jadinya. Problematika yang dihadapi lebih deep dan kompleks sehingga butuh waktu lama untuk memikirkan apa yang harus ditulis.

Sesungguhnya aku menulis kisah ini bukan untuk orang-orang yang kelak membacanya melalui blog ku. Aku menulis sebagai terapi untuk diriku sendiri. Aku tidak tahu apakah ada part dari kisahku yang mampu menginspirasi pembaca, tapi kalau ada ku ucapkan Hamdallah. 



Jakarta, 20 Januari 2019

 











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Carpon Basa Sunda : UJIAN

Pembinaan Pekanan Majelis Ta’lim Salman #1 "Karakteristik Para Sahabat"

Cerpen --> Dialog