Enam Tahun Bersama

Ini cerpen kedua yang saya bikin. Sama seperti sebelumnya, cerpen ini tuh tugas b. indonesia. Hehe.. Berharapnya sih saya bisa bikin cerpen terus tanpa disuruh atau ditugasin terlebih dulu. Yah syukuri yang ada lah! (duh jadi ga nyambung) Udah lah yah. Oke, this is it! Cerpen Enam Tahun Bersama ala Nadia Amalia... Selamat menikmati!

TAHUN 2001

“Hei, kamu lagi ngapain di situ?” tanyaku pada seorang anak lelaki berseragam merah putih dibalik semak-semak. Bukannya menjawab, anak itu malah lari pergi. Memangnya aku monster apa?

Saat itu merupakan hari pertamaku bersekolah di sekolah dasar. Pokoknya aku harus memperlihatkan yang terbaik dari diriku, pikirku. Topi? Cek. Dasi? Cek. Sabuk? Cek. Seragam rapi? Cek. Sebagai anak yang baru mengenakan seragam baru, aku sangat semangat saat itu.

Akhirnya aku sampai di sekolah baruku. Rumahku tidak begitu jauh, jadi aku pergi dengan berjalan kaki.

Sekolah baruku ini termasuk sekolah yang kecil. Tidak begitu terkenal di kotaku. Lapangannya sangat sempit. Gedungnya hanya berlantai satu. Catnya pun kini sudah mulai luntur. Tak jauh dari sekolah, terbentang luas sawah nan hijau. Jadi, sekolahku ini tepat berada di perbatasan kota. Bisa dibilang cukup terpencil. Makanya masih banyak sawah-sawah di sini.

Mungkin anak-anak seumurku waktu itu, tidak mau bersekolah di sini. Inginnya bersekolah di tengah kota yang elit, yang gedungnya berlantai tiga, serta lapangannya luas dan banyak. Jujur, aku pun ingin seperti itu. Yang terpenting aku bisa bersekolah, pikirku saat itu. Dasar anak polos!

Akan tetapi, saat itu aku belum menyadari bahwa sekolah ini merupakan awal dari segalanya. Awal dari hidupku.

Sambil mencari kelas baru, aku mencoba beradaptasi. Aku melihat anak lelaki itu. Anak yang tadi ku temui sedang bersembunyi di balik semak-semak. Wah, dia bersekolah di sini ternyata! Aku mengamatinya. Merasa sedang diamati, dia lari menuju kelasnya. Saat itu aku berpikir, ada apa dengan anak itu? Aneh banget!

Aku menghampiri kelas yang ia masuki. Ku lihat palang di atas pintunya. KELAS 1A. Wah, ini kelasku. Ternyata aku dan dia sekelas. Aku pun masuk. Anak laki-laki itu sedang duduk di bangkunya sambil menundukkan kepala. Dasar anak aneh! Aku pun duduk di sebelah anak perempuan dengan tubuh gempal dan berambut panjang.

“Siapa nama kamu?” tanyaku.

“Namaku Sari.” jawabnya malu-malu.

“Hai, Sari! Perkenalkan namaku Amelia. Panggil saja Amel. Senang berkenalan denganmu!”

TAHUN 2002

Aku naik ke kelas dua. Alhamdulillah, aku mendapat peringkat pertama di kelasku. Sari, teman sebangkuku, mendapat peringkat kelima. Di kelas dua ini, aku dan Sari kembali duduk bersama. Jumlah murid di kelasku bertambah. Ada dua anak baru, yang satu berasal dari kabupaten dan yang satu dari Sukabumi. Yang berasal dari kabupaten bernama Risma dan yang dari Sukabumi bernama Rahmat. Nama anak Sukabumi itu seperti nama bapak-bapak! Haha! ujarku dalam hati.

Sekolah berjalan seperti biasa. Sari baru saja memotong rambutnya. Makin saja tubuhnya terlihat gempal. Anak laki-laki aneh yang selalu berlari apabila bertemu denganku, tidak mengalami perubahan. Di kelas dia selalu menundukkan kepala. Sampai saat ini aku belum mengetahui namanya.

Aku ingat, suatu hari aku sedang mengobrol asyik dengan Sari. Saat itu kami sedang mendapat giliran duduk di bangku paling pojok. Posisi yang enak. Sebelah bangku kami ada jendela. Tiba-tiba anak aneh itu muncul dari bawah jendela. Kami berdua sangat terkejut. Mataku dan matanya sempat bertemu. Kemudian dia pun lari seperti biasa apabila bertemu denganku.

“Sari, kamu tahu namanya?” tanyaku pada Sari yang masih mengelus-ngelus dadanya karena kaget.

“Apa? Oh, namanya Ari. Kamu ngga tahu? Sudah setahun sekelas masa ngga tahu!”

“Aku benar-benar ngga tahu.”

Tentunya saat itu aku hanya menganggap mengetahui namanya hanyalah hal sepele. Padahal sebenarnya hal itu kelak akan menjadi hal terpenting dalam hidupku. Hanya saja saat itu aku belum menyadarinya.

TAHUN 2003

Peringkatku turun. Aku sangat shock. Yah, walaupun hanya turun satu, menjadi peringkat dua. Akan tetapi, Sari naik menjadi peringkat ketiga! Aku sangat kesal padanya. Jangan-jangan dia menyontek padaku? Aku yakin pasti dia dapat peringkat ketiga gara-gara menyontek padaku! Setiap ulangan harian aku selalu merasa sedang diamati oleh Sari. Tiap kali aku menoleh padanya, dia selalu berpura-pura mencari penghapus. Munafik sekali! Akhirnya aku memutuskan untuk pindah dan duduk bersama Risma, si anak kabupaten.

Risma orang Sunda tulen! Suaranya sedikit cempreng, dan logatnya sangat Sunda. Sayangnya dia anak yang pemalu. Tak apalah, yang penting aku bisa jauh dari Sari dan tampaknya Risma tidak akan menyontek padaku, pikirku saat itu. Bangku Risma berada di sebelah bangku Ari. Awalnya kukira Ari akan merasa terganggu dengan aku duduk di bangku sebelahnya. Akan tetapi, dia terlihat baik-baik saja. Di kelas tiga ini Ari berubah seratus delapan puluh derajat! Dia tidak pernah menundukkan kepalanya lagi!

Tibalah kami untuk memilih ketua kelas baru. Dua tahun kemarin ketua kelas kami adalah Tomi. Kami bosan dengannya. Terutama aku. Dia telah mengambil posisi peringkat satuku! Dalam pemilihan ini suatu keajaiban terjadi. Ari mencalonkan diri menjadi ketua kelas! Kelas kami tentunya menjadi gempar. Dan anehnya dialah yang terpilih menjadi ketua kelas dengan aku menjadi wakilnya.

Dia pun berpidato di depan kelas dengan gagahnya. Entah mengapa, aku menjadi sangat sebal padanya. Maunya apa sih? Selama dua tahun dia selalu lari bila melihatku. Dan kini aku harus berdiri di sampingnya sebagai wakilnya. Ergh..

“Mel, bisa bantu aku memanggil Bu Yanti. Setelah ini pelajarannya. Kamu tahu kan Bu Yanti itu sedikit pikun?” suruh Ari padaku suatu hari.

“Aku lagi sibuk! Minta tolong ke orang lain saja!” jawabku ketus.

TAHUN 2004

Peringkat satuku akhirnya kembali lagi padaku. Walaupun hanya berbeda o,5 dengan peringkat dua, Tomi. Tak apalah yang penting peringkat satu. Egois sekali aku saat itu. Akan tetapi, peringkat satu tak bisa membuatku senang. Mengapa? Ari mendapat peringkat ketiga!! Aku kesal sekali.

Aku tak menyangka dia bisa berubah seperti itu. Anak yang dulunya sangat aneh, kini menjadi sangat digemari anak-anak sekelas. Nilai-nilainya meningkat drastis! Dan setiap dia berhasil mendapat nilai lebih besar dariku, dia selalu menyunggingkan senyum sombongnya padaku. Ah betapa kesalnya aku saat itu! Maunya apa sih??

Kekesalanku memuncak. Saat itu kulihat dia sedang tertawa gembira karena nilai ulangan agamanya tertinggi di kelas. Dia pun melirikku dan menyunggingkan senyum yang amat menyebalkan. Tanpa berpikir lagi aku menghampirinya lalu memukulnya.

“Mau kamu apa sih? Sombong amat jadi anak! Heh, dengerin ya! Aku juga bisa dapet nilai segitu! Emang cuma kamu yang bisa! Ngga usah belagu lah!” teriakku. Anak-anak sekelas semua terdiam.

Ari kaget dan terdiam. Aku pun kembali ke sebelah Risma masih dengan rasa marah membakar hati. Risma mengelus-ngelus punggungku.

“Asal kamu tahu ya, Mel. Aku cuma ingin ngasih tahu kamu kalau kelakuan kamu itu sangat buruk. Egois, selalu berburuk sangka, nggak mau kalah, selalu ingin jadi nomor satu, dan satu lagi pemarah! Coba intropeksi diri kamu, Mel!” Ari akhirnya bicara dengan suara pelan dan bergetar. Dan tanpa diminta, teman-teman lain mengiyakan pendapat Ari. Posisiku kini terpojok.

TAHUN 2005

Aku sadar.

Sejak kejadian setahun yang lalu aku tak pernah berbicara dengan Ari. Kelas lima aku berubah seratus persen. Kini aku lebih lembut dari biasanya. Aku lebih pendiam dari biasanya. Peringkatku masih pertama, namun nilaiku jauh meninggalkan si peringkat dua, Tomi. Di kelas lima ini aku lebih banyak disibukkan dengan perlombaan-perlombaan. Cerdas-cermat, olimpiade MIPA, dll. Ari pun teralihkan perhatiannya oleh pertandingan-pertandingan bulu tangkisnya.

Kelas lima merupakan awal masa pubertas kami. “Virus merah jambu” mewabah di kelas kami. Saat itu aku tak begitu memerhatikan masalah “virus merah jambu”. Pokoknya aku harus serius pada setiap perlombaan yang aku ikuti.

Rahmat, si anak Sukabumi, ternyata menyimpan perasaan padaku. Aku tahu hal itu dari Sari. Oh iya aku telah berbaikan dengan Sari. Kami kembali duduk bersama. Sari bercerita bahwa sejak aku memukul Ari, Rahmat diam-diam menaruh perasaan padaku. Tanggapanku saat itu biasa saja. Padahal kelak hal itu akan sangat menggangu kehidupanku.

Lama-lama berita itu tersebar ke seantero kelas. Teman-temanku mulai mengejek-ngejekku. Ku abaikan saja mereka. Akan tetapi, Ari memberikan respon yang amat berbeda. Dia dikabarkan telah menjalin hubungan dengan Tika, anak baru yang berasal dari sekolah elit di tengah kota. Aku bingung mengapa dia pindah kesini. Jujur, aku sangat tidak menyukainya.

Tika sangat berbeda dengan kami. Gaul dan cantik, tapi genit dan centil. Dia selalu merayu Ari. Entah mengapa hal itu sangat menggangguku. Akan tetapi, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Aku harus serius pada perlombaanku.

Keseriusanku membuahkan hasil. Aku mendapat juara di setiap perlombaan yang aku ikuti.. Sekolah kami mulai dikenal dan diakui. Renovasi dilakukan di sana-sini. Aku pun di anak emaskan oleh sekolah. Aku merasa tidak nyaman akan hal itu.

Di lain hal, berita hubungan Ari-Tika sangat menggangguku. Dan Rahmat ternyata tidak main-main padaku. Dia menyatakan cintanya padaku. Urgh, sungguh sinetron sekali!

TAHUN 2006

Alhamdulillah, peringkat pertamaku tidak tergoyahkan. Aku pun menjadi juara umum dengan nilai NEM terbesar di sekolah. Semua teman-temanku lulus dengan nilai yang memuaskan pula. Termasuk Ari.

Kami telah memutuskan ke mana akan melanjutkan sekolah. Kebanyakan akan melanjutkan ke sekolah di tengah kota. Tampaknya aku pun akan melakukan hal yang sama. Satu hal yang membuatku terkaget-kaget adalah Ari akan melanjutkan sekolah ke luar kota dikarenakan pekerjaan orangtuanya. Muncul perasaan sedih dalam hati ini.

Ternyata Tika pun akan melanjutkan sekolah bersama Ari ke luar kota. Apa-apaan anak itu? Dia serius? Dan ternyata Tika itu adalah anak dari seorang pengusaha yang mempekerjakan ayah Ari di perusahaannya. Tampaknya mereka akan dijodohkan. Mendengar hal itu, hatiku seperti tersayat-sayat.

Di lain hal, Rahmat terus mengejar-ngejarku. Dia akan melanjutkan ke sekolah yang sama denganku. Menyebalkan. Oh iya tahun lalu aku menolaknya, namun rupanya dia anak yang gigih.

Untuk merayakan kelulusan, kami mengadakan pesta perpisahan. Sungguh acara yang mengharu-biru. Aku membacakan puisi di depan semua guru dan teman-teman. Sebuah puisi karanganku sendiri berjudul “Enam Tahun Bersama”. Saat itu aku tidak tahu bahwa di ujung ruangan, Ari sedang mendengarkan dengan seksama puisiku sambil mencucurkan air mata.

Di akhir acara, Ari menarikku keluar. Aku bingung.

“Hei, kamu ini apa-apaan? Kenapa narik-narik aku? Lepasin!” teriakku.

Dia terus menarikku sambil berlari dan menundukkan kepala. Aku mengamatinya. Tiba-tiba aku teringat akan pertemuan pertama kami. Dia selalu berlari bila melihatku dan selalu menundukkan kepala di kelas. Dia membawaku ke tengah sawah. Saat itu angin sedang berhembus kencang. Di sana Ari memberitahukan segalanya.

“Amelia, terima kasih atas segalanya! Dulu aku adalah orang yang pemalu dan penakut. Kamu sendiri tahu kan bagaimana aku dulu? Akan tetapi, setelah bertemu denganmu, ada suatu hal aneh yang membuatku tertarik. Entah apa itu! Aku terus mengamatimu. Sayangnya kamu adalah anak yang terlalu ambisius dengan peringkat pertama, egois, dan selalu berburuk sangka. Aku tidak suka. Jadi, aku ingin menunjukkanmu bagaimana semestinya. Walaupun awalnya aku takut, tapi anehnya muncul perasaan untuk melawan rasa takutku itu. Aku pun memberanikan diri. Kamu bisa lihat, di kelas tiga aku berubah. Aku berhasil menjadi ketua kelas! Sebuah pencapaian yang luar biasa bagiku. Aku terus berkembang hingga bisa hampir menyusulmu. Aku lihat responmu. Kamu semakin emosional, pemarah. Aku kembali takut. Akan tetapi, muncul perasaan itu lagi. Aku berusaha menggodamu dengan nilai-nilaiku. Dan hasilnya di luar dugaan. Kamu marah besar. Saat itu aku takut sekali. Aku pun memberanikan diri memberitahumu bahwa aku tidak suka dengan kelakuanmu itu. Dan aku amat menyesal. Maafkan aku! Aku tidak berani lagi berbicara denganmu. Hingga hari ini, setelah aku mendengarkan puisimu, aku mulai menyadari bahwa kamu sudah berubah. Aku senang sekali. Tujuanku sudah tercapai. ”

TAHUN 2016

Sambil memegang kertas bertuliskan “Enam Tahun Bersama”, kukenang masa-masa itu. Sudah sepuluh tahun aku tak berjumpa dengan Sang Inspirator. Kini aku sudah lulus kuliah dengan indeks prestasi cum laude. Ini semua berkatnya. Entah jadi apa aku sekarang bila Ari tidak menyadarkanku dari kelakuanku yang amat buruk itu. Aku rindu padanya.

“Amel, sudah makan?” tanya Rahmat, calon suamiku.

“Belum. Belum lapar.” jawabku lemas.

“Kamu harus makan sekarang, Mel! Sebentar lagi kita akan berangkat ke London.”

Rahmat, si anak Sukabumi, sebentar lagi akan menjadi suamiku. Jujur, aku tidak mencintainya. Akan tetapi, ini merupakan permintaan mendiang ayahku. Saat aku kuliah, ayah terlilit hutang, dan Rahmat membantu melunasi hutang-hutang tersebut. Rahmat benar-benar anak yang gigih. Dia lakukan apa saja untuk menaklukanku. Ku akui kegigihannya itu.

Aku pun makan. Sambil makan ku nyalakan televisi.

“Kembali lagi di acara Harry’s Show!!” Harry memulai acaranya.

“Dalam episode kali ini kami mengundang tamu special yaitu Bapak Ari Purnawan!”

Aku tersedak. Ku ambil segelas air dan langsung ku tenggak habis.

“Ya! Bapak Ari ini merupakan direktur perusahaan terkenal Mels. Kini perusahaannya akan menginjak pasar internasional! Bapak Ari akan menceritakan kisah suksesnya saat ini juga di hadapan para pemirsa di studio dan di rumah.”

“Terima kasih atas kesempatannya! Kesuksesan ini berawal dari sepuluh tahun lalu. Saat saya masih duduk di bangku SD.” jelas Pak Ari.

“Oh ya? Wah, sudah lama sekali!”

“Ya benar. Saya terinspirasi dari seorang anak perempuan cerdas yang memergoki saya sedang bersembunyi di balik semak-semak. Seorang anak yang luar biasa. Nama perusahaan ini pun diambil dari sebagian namanya. Saran saya untuk semua pebisnis Indonesia, untuk terus percaya diri dan berani. Jangan takut akan peluang –peluang di hadapan anda. Manfaatkan…”

Rahmat mematikan televisi.

“Kamu ini bagaimana? Menyalakan televisi tapi tidak ditonton. Ayo, sudah saatnya kita pergi!” ajak Rahmat.

“Baiklah!” jawabku sambil membereskan piring di meja makan dengan malas. Kemudian kuhampiri koper di depan pintu kamarku. Aku raih pegangannya dan untuk sejenak pikiranku kembali pada Ari. Di mana dia sekarang? Apa dia sudah menikah? Apa dia hidup bahagia?

Sadar pertanyaan itu tidak akan terjawab, aku alihkan perhatian pada Rahmat yang sejak tadi berdiri di ambang pintu, menungguku untuk keluar. Selamat tinggal Indonesia! Tampaknya aku akan sangat merindukan Indonesia, terutama sekolah butut di tengah sawah di mana semua berawal.

***

“Pertanyaan terakhir. Maaf sebelumnya bila pertanyaan ini terlalu pribadi, apa Anda sudah mempunyai calon pendamping hidup?” tanya Harry sebelum menutup acaranya.

“Ada seorang wanita yang menarik perhatianku. Ku harap dia menonton acara ini. Namanya Amelia…”

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Carpon Basa Sunda : UJIAN

Pembinaan Pekanan Majelis Ta’lim Salman #1 "Karakteristik Para Sahabat"

Cerpen --> Dialog